MENGENANG NURCHOLISH MADJID

MENGENANG NURCHOLISH MADJID

Oleh;

M. Asrul Pattimahu

Tanggal 29 Agustus 2005 –  bangsa Indonesia kehilangan salah seorang putra terbaiknya yakni almarhum Ayahanda Nurcholish Madjid. Bersama kepergiannya, Cak Nur meninggalkan banyak hal yang sampai saat ini menjadi diskursus yang panjang. Semua itu merupakan warisan intelektual bak the empire of mind. Ide-ide Cak Nur itu membentang dari hal-hal yang bersifat profan-imanen sampai yang religius-transendental. Dari hal individual sampai yang institusional. Yang menarik dari ide-ide Cak Nur, hampir semuanya merupakan hal yang baru dalam wacana kebangsaan dan terutama dalam diskursus keislaman. Tak heran, atas jasa-jasanya Cak Nur diberi berbagai predikat seperti “Natsir Muda”, “Guru Bangsa” dan berbagai predikat lainnya.

Layaknya seorang tokoh, Ide-ide Cak Nur tak selamanya meninggalkan kesan yang baik. Banyak tokoh baik secara langsung maupun tidak, terlibat aktif dalam perdebatan gagasan yang dilontarkannya. Prof. H. M. Rasyidi adalah salah seorang

– dari sekian tokoh – yang dikenal sering muncul dengan kritik cukup tajam dalam membantah ide-ide Cak Nur, terutama ide Sekularisasi. Dalam bukunya Sekularisasi Dalam Persoalan”, yang dipersoalan Rasyidi adalah hal yang sederhana tentang kata “sekularisasi”.  Kalau mau mengatakan sendal katakan saja sendal, jangan katakan sepatu, meskipun sendal dan sepatu sama-sama bisa dijadikan pengalas kaki, karena istilah sendal memang sudah digunakan untuk menunjuk sendal.   Sekularisasi sudah jelas tujuannya jangan digunakan untuk maksud yang lain. Bagi saya inilah inti dari buku tersebut.

Debut intelektual Cak Nur mulai mengemuka diawal tahun 70-an dengan tema-tema besarnya yang muncul dalam beberapa kesempatan diskusi antara lain ” Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” dan “Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia”. Tidak seperti sekarang, gagasan Cak Nur sangat tidak lazim dalam diskursus Islam di Indonesia, bahkan berada diluar arus utama pemikiran Islam sehingga begitu banyak mengundang polemik. Umat Islam Indonesia saat itu masih berada dalam batas-batas perdebatan yang teologis.

Dalam mendiskripsikan ide-ide intelektualnya, menurut Fachri Ali, Cak Nur lebih mirip intellectual exercise (latihan intelektual) dari pada “aksi intektual”. Inilah yang bagi saya membuat Cak Nur agak menjauhi arena politik baik praktis maupun tidak, dan menjaga jarak dari struktur kekuasaan. Cak Nur menghindari orientasi positifistis strukturis dalam menempuh karir intelektualnya. Tidak seperti tokoh lainnya yang ditengah popularitas intelektualnya justru mengubah haluan kearena politik. Meskipun kesempatan emas untuk menjadi presiden – saat Cak Nur ditawarkan menjadi presiden ditengah krisis kepemimpinan 1998 – pernah dimiliki Cak Nur namun dilewatkan begitu saja. Nampaknya hal ini sangat di pengaruhi oleh pemikiran Fazlur Rahman – seorang pemikir modernis, gurunya Cak Nur selama menempuh pendidikan doktornya di Universitas Chicago AS dalam bidang filsafat Islam – yang sangat anti terhadap segala bentuk otoritarian.

Sosok Cak Nur lah – meskipun bukan yang pertama kalinya – yang banyak memberikan nuansa baru dalam pemikiran keislaman di Indonesia. Pada tahun 1992 dalam kesempatan mengisi diskusi di Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan tema ” Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia Untuk Generasi Mendatang”. Slogan “Islam Yes, Partai Islam No”, mengemuka dan seakan membuka babakan kedua polemik khazana intelektual Islam Indonesia.

Simpul pemikiran Cak Nur adalah monotoiesme radikal dan kemodernan. Variannya adalah gagasan tentang sekularisasi, inklusivisme dan universalisme Islam serta ide kemodernan. Bagi Cak Nur, Islam dalam makna generiknya adalah “tunduk, patuh dan pasrah” menjadi konsekuensi logis bagi siapa saja yang percaya tenteng keesaan Tuhan. Monoteisme atau Tawhid tidak hanya sebatas percaya bahwa Tuhan itu esa, namun ada konsekuensi logis lain yang harus dipikul. Setiap yang percaya bahwa Tuhan adalah satu, harus mampu menghilangkan segala bentuk penyembahan kepada “tuhan” selain menyembah “Tuhan” – ditunjukkan dengan Tuhan (T) dan tuhan (t). Sebagai istilah teknis dalam ilmu Kalam, Tawhid juga harus menghasilkan pandangan tertentu tentang harkat dan martabat kemanusiaan atau semangat humanisme.

Sekularisasi versi Cak Nur adalah menduniawikan nilai-nilai yang bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan mengukhrawikannya. Penggunaan istilah sekularisasi oleh Cak Nur tidaklah dimaksudkan untuk menerapkan paham sekularisme dan menjadikan umat Islam Indonesia menjadi kaum sekuler. Bagi saya sasarannya terletak pada bagaimana cara memahami Islam yang lebih ditekankan pada aspek historis intelektual, tafsiran yang kontekstual terhadap teks kitab suci dan Hadis Nabi, mengkaji secara kritis kitab-kitab klasik Islam (baca; kitab-kitab fiqih) untuk menjadikan umat Islam Indonesia terlepas dari imprealisme mitologi dan kebekuan ideologikal. Fraseologinya berislam secara rasional.

Secara etimologi “sekularisasi” adalah paham yang memiliki kecenderungan profanitas yang kuat. Fenomena keagamaan yang sering menyamakan urusan dunia dengan urusan akhirat merupakan gejala yang dominan pada umat Islam Indonesia. Urusan dunia selalu harus mendapatkan legitimasi keagaman; politik misalnya; organisasi-organisasi politik yang secara simbolik menggunakan identitas keagamaan kadang dianggap menjadi representasi kepentingan kelompok agaman sehingga yang terjadi adalah politisasi agama. Meski semangatnya tidak demikian maksudnya, namun stigmatisasi kelompok awam semakin sulit dilepaskan. Negara tak boleh berbentuk teokratis, Negara juga tak boleh bersifat sekuler.

Gagasan inklusivisme dan universalisme Islam, menurut Cak Nur bahwa Islam tidak identik dengan ideologi. Islam tidak harus dianggap sebagai sebuah institusi keagamaan formal yang harus diikuti dengan prasyarat administratif. Islam tidak tersegmentasi dalam batas kebangsaan, nasionalisme, kesukuan dan segmen lainnya. Menjadikan Islam sebagai sebuah ideologi sama saja menganggap Islam seperti Kapitalisme dan Komunisme yang satu saat bisa saja tak lagi menjadi kebutuhan dan akhirnya akan runtuh. Islam merupakan agama yang secara kontekstual menyusup dalam setiap realitas empirik kehidupan manusia, tidak hanya menginterfensi aspek ritualitas tapi juga menuntut profesionalisme dalam etos keduniawian.

Dalam pandangannya tentang pluralisme, Cak Nur menunjukkan bahwa pluralisme dalam pengertian inklusivisme sejalan dengan ajaran Al-Quran. Al-Quran membenarkan adanya kesinambungan, kesatuan dan persamaan agama-agama para nabi dan rasul Allah. Pluralisme bukan berarti penolakan terhadap normativitas dan klaim-klaim metafisik Islam. Cak Nur menggunakan pluralisme keagamaan untuk menunjukkan kesatuan pemahaman atau

kalimah sawa’. Adanya kesatuan transeden atau – meminjam istilah Huston Smith – the common vision dalam setiap agama. Prinsip pluralisme inilah yang akan melahirkan sikap keberagamaan yang inklusivis (terbuka) yang seterunya akan tercipta hubungan sosial kemanusiaan yang beradab.

Sedangkan gagasan komedernan terartikulasi lewat jargon modernisasi adalah rasionalisasi bukan westernisasi. Umat Islam harus menyadari perjalanan historis semangat-semangat perubahan yang pernah terjadi dalam berbagai kutub dunia. Zaman modern tentunya akan melengkapi kaum muslim untuk lebih baik memahami ajaran agamanya dan menangkap ajarannya sehingga “api”nya lebih terang dalam kegelapan zaman modern di Barat yang ditandai dengan pertentangan ilmu pengetahuan dan agama yang tak terdamaikan.

Modernitas menurut Cak Nur ditandai oleh kreatifitas manusia dalam mencari jalan mengatasi kesulitan hidupnya di dunia. Dengan mengutip beberapa pemikir Barat seperti Robert Bellah dan Ernest Gellner, Cak Nur mengatakan Islam menurut zaman dan tempat sudah mengalami modernisasi, bahkan sangat modern untuk dapat berhasil. Timur tengah waktu itu belum memiliki prasarana sosial yang memadai untuk mendukung modernitas Islam. Jika Islam memang sudah modern, maka seharusnya zaman modern akan memberikan kesempatan kepada kaum Muslim untuk melaksanakan ajaran agamanya secara lebih baik, dan menjadi modern dapat dipandang sebagai penyiapan lebih jauh infrastruktur sosial guna melaksanakan ajaran Islam secara sepenuhnya.

Kemodernan yang pernah dimiliki dunia Islam berpindah secara dranstis ke dunia Barat. Namun kemodernan Barat ditandai oleh desaklarisasi pengetahuan yang bersifat Ketuhanan. Lebih lanjut Cak Nur mengatakan kaum Muslim zaman modern inipun dapat saja menggunakan unsur modernitas yang datang dari Barat untuk bahan tambahan meningkatkan kemampuan tanpa mengalami “westernisasi” (proses pembaratan).

Tentunya masih sangat banyak ide-ide Cak Nur  yang tak mungkin dibahas secara panjang lebar dalam tulisan ini. Namun atas dasar kontribusinya dalam dunia intelektual Islam Indonesia, tak berlebihan jika Cak Nur dikatakan sebagai pemrakarsa ide-ide pembaruan Islam, dan pentingnya modernitas bagi umat Muslim Indoenesia.


Tinggalkan komentar